PANDANGAN TENTANG EKONOMI ISLAM
Abstrak Ketentraman akan dapat dicapai apabila keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk mencapai keseimbangan hidup...
https://lintobaro.blogspot.com/2013/11/pandangan-tentang-ekonomi-islam.html
Abstrak
Ketentraman akan dapat dicapai apabila
keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk
mencapai keseimbangan hidup di dalam masyarakat diperlukan
aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
Kegiatan ekonomi Islam tidak
semata-mata bersifat materi saja, namun juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang
secara sederhana. Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang
mementingkan materi belaka, sangat dicela. Walaupun di dalam syari’at Islam diakui adanya hak-hak
yang bersifat perorangan terhadap suatu benda, bukan berarti atas
sesuatu benda yang dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang.
Sebab aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam, selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak orang lain.
Ekonomi Islam
Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
sebagai makhluk individu, telah disediakan Allah Swt, beragam
benda yang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam rangka
pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut, tidak mungkin dapat diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan.
Dengan kata lain, ia harus bekerja sama dengan orang lain. Hal itu bisa
dilakukan, tentunya harus didukung oleh suasana yang tentram. Ketentraman akan dapat dicapai
apabila keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk
mencapai keseimbangan hidup di dalam masyarakat diperlukan
aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
Langkah
perubahan perekonomian umat Islam, khususnya di Indonesia harus dimulai dengan pemahaman bahwa kegiatan
ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan yang
berdimensi ibadah. Hal ini tercantum dalam QS. Al–A’raf: 10, yang
artinya: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan
Kami adakan bagimu di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. Selain
itu disebutkan juga dalam (QS. Al-Mulk: 15, QS. An-Naba’: 11 dan QS. Jumu’ah
:10).
Kegiatan
ekonomi Islam tidak semata-mata bersifat materi saja, namun juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
seseorang secara sederhana. Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang
mementingkan materi belaka, sangat dicela. Walaupun di dalam syari’at Islam
diakui adanya hak-hak yang bersifat perorangan terhadap
suatu benda, bukan berarti atas sesuatu benda yang dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang. Sebab
aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam, selain untuk memenuhi
kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak orang lain.
Adanya hak
orang lain (masyarakat) terhadap hak milik yang diperoleh seseorang dibuktikan dengan
ketentuan-ketentuan antara lain; pelarangan menimbun barang, larangan memanfaatkan harta untuk
hal-hal yang membahayakan masyarakat, seperti memproduksi barang-barang
yang tidak boleh dimiliki dan dikonsumsi menurut pandangan
Islam, contoh: memproduksi atau menjual buku, kaset, film yang menyesatkan dan membawa kepada kekafiran,
memproduksi atau menjual makanan dan minuman yang dilarang, seperti
makanan haram, minuman keras dan obat-obatan terlarang dan lainnya.
Prinsip pokok
dalam pengembagnan harta dalam pandangan Islam ialah kegiatan ekonomi yang tidak bertentangan
dengan akidah, seperti disebutkan dalam QS. Hud : 84,85,86 dan 87. Dengan
demikian dapat disebutkan bahwa sistem ekonomi islam
adalah sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) dalam kehidupan sehari-hari baik
bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/
penguasa dan pemanfaatan barang dan jasa menurut aturan
Islam.
Filosofi Ekonomi Islam
Ketentuan
Tuhan yang harus ditaati bukan hanya yang bersifat mekanis, juga dalam hal etika dan moral. Artinya, selain
untuk memenuhi kepuasan manusia yang tak terbatas, kegiatan ekonomi
bertujuan untuk menciptakan kesejahteraaan umat Islam. keadilan dan keseimbangan mengandung
pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi,
sepanjang tidak ada larangan Tuhan yang menetapkannya. Pertanggungjawaban maksudnya adalah bahwa
manusia sebagai pemegang amanat Tuhan mempunyai tanggungjawab atas
segala pilihan dan keputusannya.
Sistem Ekonomi
Islam berbeda dengan sistem Ekonomi lainnya, seperti diungkapkan oleh (Zadjuli dalam , Tadjoeddin
1992: 39 seperti dikutip Lubis, 2004: 15), yaitu :
1. Asumsi dasar/norma pokok dalam
proses maupun Interaksi kegiatan Ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem
Ekonomi Islam yang menjadi asumsi dasarnya adalah Syari’at Islam, yang
diberlakukan secara menyeluruh baik terhadap individu, keluarga, kelompok masyarakat, penguasa dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Prinsip Ekonomi Islam adalah
penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan serta menjaga kelestarian
lingkungan.
3. Motif
ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan dunia dan akhirat
Hal-hal
tersebut didasarkan atas ketentuan dalam QS. al-Baqarah: 208 tentang perintah ajaran Islam untuk dilaksanakan
secara totalitas, QS. Ar-Rum: 41 tentang asas efisiensi
dan menjaga kelestarian lingkungan, QS. Al-Qasas: 77 tentang motif ekonomi menurut pandangan Islam.
Perbedaan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya di atas, sejalan dengan pendapat asy-Syathibi 1941: 3-9 dan al-Ghazali
(Az-Zuhaili, 1986:1020), seperti dikutip (Burhan 2001: 120), yang menyatakan
perhatian para ahli ekonomi Islam berangkat dari dimensi filosofi dan nilai
Islam, dengan tetap memakai alat-alat pengukuran ilmu ekonomi lainnya (Capra,
1999: 7-9) seperti dikutip Burhan, 2001: 120).
Ilmu ekonomi
Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh
muamalat). Ilmu ekonomi Islam juga memiliki dua objek kegiatan yaitu
objek formal dan objek material. Objek formal dalam ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem
produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik
dari aspek prediksi tentang laba, rugi yang akan dihasilkan
maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu
ekonomi Islam, seperti dikutip (Daulay, 2002:99 dari Anwar, 2002: 1).
Perbedaan
antara ilmu ekonomi dan fiqh muamalat adalah dalam cara memperolehnya. Ilmu ekonomi didapatkan
melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai contoh dapat dilihat
dari teori permintaan dalam ilmu ekonomi, yaitu: apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang
tersebut secara otomatis akan menjadi naik (Jones, 1975; 15, seperti dikutip
Daulay, 2002: 101).
Fiqh muamalat
diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha / penalaran yang
bersifat kualitatif. Dari segi tujuan, ilmu ekonomi bertujuan untuk membantu
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan fiqh muamalat berfungsi
untuk mengatur hukum kontrak (aqad) baik yang bersifat
sosial maupun komersil (Ahmad, 1980:59 seperti dikutip Daulay, 2002:103).
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, dengan kata lain ilmu
ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh
muamalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif /menentukan status hukum, boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis
(Hakim, 2002: 2 seperti dikutip Daulay, 2002 :103).
Dalam
operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut yang mempunyai
perbedaan dari segi sumber ilmunya itu sendiri. Ilmu
ekonomi Islam adalah pemikiran manusia, sedangkan sumber fiqh muamalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al
Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini
menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh,
ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal,
kapitalisme dan komunis, sedangkan fiqh muamalat masih membutuhkan legislasi dari Al Qur’an dan
Hadits dan belum dapat menerima ketiga sistem tersebut.
Penutup
Pluralisme sistem ekonomi ini
muncul karena ketidakmampuan umat Islam melahirkan suatu konsep sistem
ekonomi Islam menggabungkan sistem ekonomi dengan syari’at). Kondisi ini oleh
Antonio dilukiskan: “disatu pihak kita menggerakkan roda pembangunan ekonomi, tetapi lupa membawa
pelita agama karena memang tidak menguasai syari’at terlebih fiqh
muamalat secara mendalam. Di lain pihak, kita menemukan
para kiayi dan ulama yang menguasai secara mendalam konsep fiqh dan disiplin ilmu lainnya, tetapi kurang
menguasai dan memantau fenomena ekonomi dan gejolak bisnis di sekelilingnya.
Perbedaan
mendasar antar disiplin ilmu ekonomi dan fiqh muamalat mengharuskan adanya pemikiran untuk
mensinergikan keduanya ke dalam satu disiplin ilmu.
Terlepas dari masalah-masalah di atas, Antonio (1992: 1) seperti dikutip
(Lubis, 2004 :15), memberikan tawaran-tawaran yang
terpenting dalam pemahaman tentang ekonomi Islam, yaitu: ekonomi
Islam ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera
di dunia dan di akherat, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk
hal-hal yang halal pula, dilarang menimbun barang/harta dan
menjadikannya terlantar, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin, pada batas tertentu hak milik
tersebut dikenakan zakat, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba
dilarang, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam
bekerja sama dan yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja. Semoga tawaran-tawaran ini dapat kita amalkan
dalam kehidupan sehari-hari.